TIDAK ada kata yang lebih tepat kecuali sungguh memalukan sikap yang diperlihatkan para pemilik suara PSSI. Mereka mengaku ingin memperbaiki persepakbolaan nasional, tetapi sebenarnya yang dilakukan adalah memaksakan kehendak dari apa yang mereka maui.
Kacamata kuda yang dipakai membuat mereka tidak mau melihat sisi yang lain. Seakan-akan hanya mereka saja yang benar, sementara pandangan yang lain sama sekali tidak mau mereka dengar.
Dalam forum tertinggi seharusnya akal sehat yang lebih menonjol. Apalagi ini Kongres dari orang-orang yang memiliki tanggung jawab untuk memajukan persepakbolaan nasional. Sebanyak 237 juta rakyat Indonesia mempercayakan kepada 100 orang yang diyakini mempunyai pikiran besar dan wawasan yang luas.
Ternyata yang hadir kemarin bukanlah sosok yang tahu bagaimana menjalankan amanah tersebut. Kebanyakan di antara mereka ternyata orang-orang yang pikiran sempit. Bahkan mereka bukan orang yang tahu bagaimana seharusnya berkongres, bagaimana seharus mengemukakan pendapat, bagaimana caranya berdebat, dan bagaimana mencapai sebuah kesepakatan.
Kongres PSSI yang digelar di Hotel Sultan hari Jumat tidak ubahnya seperti ajang debat kusir. Selama enam jam Kongres berlangsung tidak ada adu argumentasi yang bernas. Yang lebih menonjol adalah caci maki dan interupsi, yang akhirnya membuat pembahasan tidak pernah beranjak ke mana-mana.
Inti persoalan yang dipertanyakan Kelompok 78 adalah mengapa pasangan George Toisutta dan Arifin Panigoro--yang mereka dukung--dilarang FIFA untuk maju dalam pencalonan Ketua Umum PSSI 2011-2015. Direktur Kelembagaan dan Keanggotaan FIFA Thierry Regennas yang hadir sebagai pengawas, secara jelas telah menyampaikan alasan mengapa George Toisutta dan Arifin Panigoro serta juga Ketua Umum PSSI lama Nurdin Halid dan Nirwan Dermawan Bakrie, dilarang maju dalam pemilihan Ketua Umum PSSI kali ini.
Kalau saja para pemegang hak suara PSSI mengerti masalah aturan dan mau berpikiran terbuka, seharusnya tidak ada lagi masalah yang harus dipersoalkan. Toh masih ada 19 calon Ketua Umum PSSI lainnya, yang bisa dipertimbangkan sebagai Ketua Umum PSSI 2011-2015.
Namun Kelompok 78 terlanjur menganggap calon yang didukungnya sebagai satu-satunya dewa penyelamat sepak bola Indonesia. Seakan hanya mereka berdualah yang mempunyai kemampuan untuk memperbaiki sepak bola kita. Yang lain tidak ada yang dinilai pantas untuk memimpin organisasi sepak bola Indonesia.
Padahal dalam banyak pengalaman kita sudah merasakan bagaimana kita akhirnya selalu kecewa ketika hanya terpaku pada figur. Orang yang kita gadang-gadang sebagai tokoh hebat, ternyata tidak bisa melakukan apa-apa untuk membuat perubahan.
Selama delapan tahun terakhir, para pemilik hak suara PSSI itu jugalah yang membela mati-matian Nurdin Halid sebagai Ketua Umum PSSI. Bahkan dalam pra-Kongres di Bali, mereka masih bertekad bulat untuk mendukung kepemimpinan Nurdin Halid tanpa reserve. Mereka bahkan menutup peluang bagi calon lain seperti Arifin Panigoro.
Ketika angin berubah, tiba-tiba mereka menjadi pendukung utama Arifin Panigoro dan juga George Toisutta. Kali ini pun mereka mendukung pencalonan kedua orang itu tanpa reserve. Bahkan ketika aturan tidak memungkinkan calonnya untuk maju, mereka memilih jalan menggagalkan jalannya Kongres.
Dengan kekacauan yang terjadi pada penyelenggaraan Kongres kemarin sangat wajar apabila Indonesia terancam sanksi oleh FIFA. Para pemilik hak suara PSSI telah gagal menunjukkan dirinya sebagai orang-orang yang paham dalam berorganisasi.
Kita memang harus berupaya agar sanksi itu jangan sampai dijatuhkan FIFA. Apa jadinya jika ketika kita menjadi tuan rumah SEA Games XXVI bulan November nanti, kesebelasan nasional kita dilarang untuk tampil. Namun dengan kekonyolan yang diperlihatkan di Kongres kemarin di mana pejabat teras FIFA melihat dengan mata dan kepalanya sendiri, tampaknya sanksi itu tidak akan bisa terhindarkan.
Kalau sampai itu terjadi, maka para pemilik hak suara PSSI itulah yang harus memikul tanggung jawabnya. Merekalah yang menjerumuskan persepakbolaan Indonesia ke dalam lubang hitam yang paling dalam. Setelah sebelumnya mereka pulalah yang bersengkokol dengan pengurus PSSI yang lama untuk membawa persepakbolaan nasional kita ke titik nadir seperti sekarang.
Enough is enough. Cukup sudah penanganan persepakbolaan kita diserahkan kepada para petualang ini. Kita harus mengembalikan pembinaan sepak bola ke jalur yang benar. Kita serahkan penanganan sepak bola ini kepada orang-orang yang tahu bagaimana penataan organisasi ini harus dilakukan.
Kita ingin mengimbau dua tokoh sentral George Toisutta dan Arifin Panigoro untuk jangan mau dimanfaatkan para petualang sepak bola. Seperti dikatakan George Toisutta sendiri, ia hanya ingin menjadi Ketua Umum PSSI apabila memang diberi kepercayaan untuk itu dan dilakukan melalui cara-cara yang benar.
Soal pelarangan dirinya oleh FIFA untuk maju sebagai Ketua Umum PSSI, George meminta agar dilakukan komunikasi dengan pihak FIFA. Dalam Kongres kemarin Direktur Kelembagaan dan Organisasi FIFA sudah menjelaskan, mengapa dirinya dan Arifin Panigoro dilarang. Dengan penjelasan itu, maka tidak ada alasan lagi bagi dirinya untuk tetap mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PSSI.
Lebih baik jika konsentrasi kita kini ditujukan untuk mencari orang yang paling pantas untuk membenahi persepakbolaan nasional. Kita akan menjadi bangsa yang gagal apabila tidak bisa menemukan orang terbaik dari 237 juta bangsa Indonesia untuk memimpin PSSI.
Tidak menjadi pengurus PSSI bukan berarti orang seperti George Tosiutta dan Arifin Panigoro tidak bisa ikut membangun sepak bola Indonesia. Roman Abramovich pun tidak harus menjadi pengurus sepak bola Rusia. Namun semua orang tahu Abramovich merupakan tokoh kunci dalam kebangkitan sepak bola Negara Beruang Merah itu.
Sumber: metrotv.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar